Dari sudut sejarah ide dibentuknya
Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara
pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan lembaga tersebut bertujuan
mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai
melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang
bertentangan dengan hukum (abuse of power). Eksistensi Peradilan Tata Usaha
Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yang khusus yakni,
Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan
Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat
untuk menjadikan lembaga PTUN yang professional guna menjalankan fungsinya
melalui kontrol yudisialnya. Namun, perlu disadari bahwa das sollen seringkali
bertentangan dengan das sein, salah satu contohnya terkait dengan eksekusi
putusan, Pengadilan Tata Usaha Negara bisa dikatakan belum profesional dan
belum berhasil menjalankan fungsinya.
Eksekusi Putusan PTUN juga seringkali
tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK)
sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat
dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang
bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden.
Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara
di Indonesia Pada masa Hindia Belanda, tidak dikenal Pengadilan Tata Usaha
Negara atau dikenal dengan sistem administratief beroep. Hal ini terurai dalam
Pasal 134 ayat (1) I.S yang berisi:
- Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-Undang;
- Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri.
Kemudian, setelah Indonesia merdeka,
yaitu pada masa UUDS 1950, dikenal tiga cara penyelesaian sengketa
administrasi, yaitu:
- Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;
- Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;
- Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus.
Perubahan mulai terjadi dengan
keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Dalam Pasal 10 undang-undang tersebut disebutkan bahwa Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata
Usaha Negara. Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan sengketa administrasi negara
semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara dimana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan
suatu perkara/sengketa administrasi berada pada Hakim/Peradilan Tata Usaha
Negara, setelah ditempuh upaya administratif.
Tujuan Pembentukan Peradilan Tata
Usaha
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa
perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan
hukum preventif adalah perlindungan hukum dimana rakyat diberikan kesempatan
untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yangyang preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif
sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan
bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yangyang didasarkan pada
diskresi. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan
administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah: defenitif, artinya perlindungan
hukum preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil
keputusan.
- Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu.
- Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, perlindungan hukum akibat
dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu
melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan melalaui peradilan.
Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum yang diberikan merupakan qonditio sine
qua non dalam menegakan hukum. Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non
pula untuk merealisasikan fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud
adalah:
- Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara;
- Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;
- Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
- Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
- Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.
Prosedur Beracara dalam Peradilan
Tata Usaha Negara.
Objek sengketa dalam PTUN adalah
keputusan tertulis pejabat administrasi negara (beschikking). Seperti
diketahui, seorang pejabat administrasi negara mempunyai kewenangan melakukan
freis ermessen berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Freis ermessen tersebut
akan berbentuk beschikking yang berlaku secara konkrit, individual dan final
bagi orang atau badan hukum yangyang merugikan sasaran keputusan tertulisnya.
Untuk mengontrol hal itulah, maka PTUN dibentuk, yaitu sebagai sarana bagi
masyarakat untuk melindungi kepentingan individunya dari kekuasaan pemerintah.
dimaksud. Dalam hal ini karena pejabat administrasi mempunyai kewenangan, maka
tidak tertutup kemungkinan ia akan melakukan sesuatu.
Setiap keputusan TUN (KTUN) dapat
digugat oleh individu/badan hukum perdata, yang terkena dampak langsung dari
KTUN tersebut. Gugatan tersebut dapat diajukan melalui dua cara, yang pertama
melalui upaya administratif (Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004) atau melalui PTUN
(Pasal 50 UU No. 9 Tahun 2004). Bagi sengketa yang diajukan melalui PTUN,
terhadap putusannya dapat dilakukan upaya banding melalui PT TUN (Pasal 51 ayat
(1) UU No. 9 Tahun 2004) sedangkan bagi sengketa yang diajukan melalui upaya
administratif, penyelesaian melalui lembaga peradilan dapat langsung diajukan
ke PT TUN (Pasal 51 ayat (3) UU No. 9 Tahun 2004) dan terhadap kedua upaya
hukum ini dapat dilakukan kasasi melalui Mahkamah Agung (Pasal 5 ayat (2) UU
No. 9 Tahun 2004).
Peradilan Tata Usaha Negara dalam
Kenyataan Seperti telah dikemukakan diatas mengenai tujuan PTUN, yaitu
memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak
individu dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang
didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat
tersebut, seringkali terhambat dengan proses penyelesaian sengketa yang
membutuhkan waktu tidak sebentar.
Hal ini terlihat jelas pada tahun
2001 dalam kasus gugatan administrasi empat orang mahasiswa Universitas
Indonesia terhadap SK Rektor Universitas Indonesia yang menetapkan sanksi
berupa skorsing selama dua semester bagi keempat mahasiswa tersebut. Dalam
putusannya PTUN mengabulkan gugatan keempat mahasiswa UI dan memerintahkan
pembatalan SK Rektor UI tersebut. Tetapi Rektor UI mengajukan banding, dimana
pada tingkat banding PT TUN mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan PTUN
sebelumnya. Namun Rektor UI tetap mempertahankan SK tersebut dengan mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung. MA dalam putusannya kembali memenangkan keempat
mahasiswa UI tersebut dan memerintahkan Rektor UI untuk membatalkan SK-nya.
Namun, karena proses peradilan yang sampai pada tingkat kasasi itu memakan
waktu selama masa skorsing keempat mahasiswa tersebut, pada akhirnya, putusan
MA pun menjadi sia-sia dan SK sudah tidak dapat dibatalkan. Dengan demikian,
putusan MA tidak memberikan akibat hukum yang nyata bagi keempat mahasiswa itu.
Kasus diatas menunjukkan bahwa
pengadilan administrasi negara tidak mampu menyelesaikan sengketa administrasi
dengan cepat sehingga tujuan untuk melindungi hak-hak individu masyarakat
menjadi tidak tercapai. Ironisnya, hambatan dalam mencapai tujuan pembentukan
PTUN ini berasal dari upaya pembuat undang-undang untuk menyediakan kesempatan
bagi berbagai pihak untuk mencari penyelesaian yang paling adil dari suatu
sengketa melalui upaya hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar