Peralihan kekuasaan kehakiman secara
organisasi, administrasi dan financial dari lembaga eksekutif ke Mahkamah Agung
RI berdampak adanya restrukturisasi struktur organisasi yang ada di Mahkamah
Agung RI. Restrukturisasi yang terjadi di Mahkamah Agung RI setelah
berlangsungnya peradilan satu atap di Mahkamah Agung RI berkonsekewensi logis
adanya pengembangan organisasi yang ada di Mahkamah Agung RI. Gambaran umum
sebelum berlakunya peradilan satu atap Mahkamah Agung RI hanya melaksanakan
pembinaan organisasi, administrasi dan financial untuk Mahkamah Agung RI, namun
setelah adanya Peradilan satu atap di Mahkamah Agung RI, beban kerja yang harus
ditanggung meliputi pembinaan organisasi, administrasi dan financial dari
pengadilan tingkat pertama, banding maupun kasasi pada 4 (empat) lingkungan
peradilan (Umum, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara), dengan jumlah kurang
lebih 750 Pengadilan (tingkat pertama s.d tingkat banding).
Sebelum adanya Peraturan Presiden
Nomor 13 Tahun 2005 tersebut, struktur organisasi/unit kerja yang menangani
teknis administrasi perkara pidana Militer dan perkara Tata Usaha Negara pada
Mahkamah Agung berada di 2 unit kerja yaitu, untuk perkara pidana militer
berada dibawah Direktorat Pidana yang di bawahnya terdapat Sub Direktorat
Kasasi & PK Pidana Militer, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi
Direktorat Pidana Militer tersendiri. Sedangkan untuk unit kerja yang menangani
perkara Tata Usaha Negara telah terbentuk Direktorat Tata Usaha Negara
tersendiri.
Tupoksi yang diemban oleh Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha sebagaimana diuraikan diatas
yaitu merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan dan standarisasi teknis
dibidang administrasi, keuangan dan organisasi ketatalaksanaan bagi tenaga
teknis Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara, tidak ada salahnya jika kita
mengetahui juga sedikit perkembangan dan perjalanan terbentuknya Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara./p>
Sejarah Terbentuknya Peradilan
Militer Di Indonesia
a. Masa Pendudukan Belanda dan
Jepang
Sebelum PD II peradilan militer
Belanda di kenal dengan nama ‘Krijgsraad’ dan ‘Hoog Militair Gerechtshof’, hal
ini sebagaimana tercantum dalam bepalingen Betreffende de rechtsmaacht Van De
militaire rechter in nederlands Indie, S. 1934 no. 173 dan De Provisionele
Instructie Voor Het Hoog Militair Gerechtshof Van Nederlands Indie, S.1992 no.
163.
Peradilan ini ruang lingkupnya
meliputi pidana materil yang anggotanya terdiri dari anggota angkatan darat
Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) yaitu KNIL dan Angkatan Laut Belanda.
Untuk diketahui, Angkatan Laut ini merupakan bagian integral dari Angkatan Laut
kerajaan Belanda (Koninklijke Marine), sedangkan KNIL merupakan organisasi
tersendiri dalam arti terlepas dari tentatara kerajaan Belanda (Koninklijke
Leger). Atas dasar ini maka KNIL diperiksa dan diadili oleh Krijgsraad untuk
tingkat pertama dan Hoog Militair Gerechtshop pada tingkat banding, sedangkan
anggota angkatan laut diperiksa dan diadili oleh Zee Krijraad dan Hoog Militair
Gerecht Shoof.
Krijgsraad terdapat di kota; Cimahi,
Padang, dan Makassar dengan wilayah meliputi: Cimahi, Jawa Madura, Palembang,
Bangka, Belitung, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan, Bali, Lombok,
Padang : Sumbar, Tapanuli, Aceh dan Sumatera Timur, Makassar : Sulawesi, Maluku
dan Timor Krijsraad memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama
terhadap anggota militer dengan pangkat Kapten ke bawah dan orang-orang sipil
yang bekerja di militer. Sedangkan Hoog Militair Gerecht shoof merupakan
pengadilan militer instansi kedua (banding) serta mengadili pada tingkat
pertama untuk Kapten ke atas dan yang tertinggi di Hindia Belanda serta
berkedudukan di Jakarta. Pada masa pendudukan Balatentara Jepang pada tanggal 2
maret 1942, berdasarkan Osamu Gunrei No. 2 tahun 1942, membentuk Gunritukaigi
(peradilan militer) untuk mengadili perkara-perkara pelanggaran undang-undang
militer Jepang. Pengadilan militer ini bertugas mengadili perbuatan-perbuatan
yang bersifat mengganggu, menghalang-halangi dan melawan balatentara Jepang
dengan pidana terberat hukuman mati.
Gunritukaigi dikepalai oleh Sirei
Kan (pembesar Balatentara Jepang), yang beranggotakan:
- Sinbankan; hakim yang memberikan putusan
- Yosinkan; hakim yang memeriksa perkara sebelum persidangan
- Kensatakun; Jaksa
- Rokusi; Panitera
- Keiza; Penjaga terdakwa
b. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1950)
Pada tanggal 5 Oktober 1945 Angkatan
Perang RI dibentuk tanpa diikuti pembentukan Peradilan Militer. Peradilan
Militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya UU. No. 7 tahun 1946 tentang
Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara disamping pengadilan biasa, pada
tanggal 8 Juni 1946, kurang lebih 8 bulan setelah lahirnya Angkatan Bersenjata
RI.. Dalam masa kekosongan hukum ini, diterapkan hukum disiplin militer.
Bersamaan dengan ini pula dikeluarkan UU No. 8 tahun 1946 tentang Hukum acara
pidana guna peradila Tentara.
Bahwa, dengan dikeluarkannya kedua
undang-undang diatas, maka peraturan-peraturan di bidang peradilan militer yang
ada pada zaman sebelum proklamasi, secara formil dan materil tidak diperlakukan
lagi. Dalam UU No. 7 Tahun 1946 Penradilan tentara di bagi menjadi 2 Tingkat,
yaitu:
- Mahkamah Tentara
- Mahkamah Tentara Agung.
Peradilan Tentara berwenang
mengadili perkara pidana yang merupakan kejahatan dan pelanggaran yang
dilakukan oleh:
- Prajurit Tentara (AD) RI, Angkatan laut dan Angkatan Udara
- Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan prajurit
- Orang yang tidak termasuk gol 1 dan 2 tetapi berhubungan dengan kepentingan ketentaraan.
Pengadilan juga diberi wewenang
untuk mengadili siapapun juga, bila kejahatan yang dilakukan termasuk dalam
titel I dan II buku II KUHP yang dilakukan dalam daerah yang dinyatakan dalam
keadaan bahaya. Mahkamah Tentara; pengadilan tingkat pertama yang berwenang
mengadili perkara dengan tersangka prajurit berpangkat Kapten ke bawah.
Mahkamah Tentara Agung; pada tingkat pertama dan terakhir untuk perkara:
- Terdakwanya serendah-rendahnya berpangkat Mayor
- Seorang yang jika dituntut di pengadilan biasa diputus oleh PT atau MA
- Perselisihan kewenangan antara Mahkamah-mahkamah tentara
Mahkamah Tentara Agung pada tingkat
kedua dan terakhir, mengadili perkara yang telah diputus oleh mahkamah tentara.
Persidangan di pisahkan menjadi dua
yakni persidangan untuk perkara kejahatan dan perkara pelanggaran. Pada tahun
1948 dikeluarkan PP No. 37 tahun 1948, yang mengubah beberapa ketentuan
susunan, kedudukan dan daerah hukum yang telah diatur sebelumnya. PP ini
mengatur peradilan tentara dengan susunan:
- Mahkamah Tentara
- Mahkamah Tentara Tinggi
- Mahkamah Tentara agung
Bahwa, sistem peradilan dua tingkat
yang diatur sebelumnya berubah menjadi tiga tingkat, dengan masing-masing
kewenangan;
- Mahkamah Tentara, mengadili dalam tingkat pertama kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan prajurit berpangkat kapten ke bawah
- Mahkamah Tentara Tinggi, pada tingkat pertama mengadili prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Pada tingkat kedua memeriksa dan memutus segala perkara yang telah diputus mahkamah tentara yang diminta ulangan pemeriksaan.
- Mahkamah Tentara Agung, pada tingkat pertama da terakhir memeriksa dan memutus perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Panglima Besar, Kastaf Angkatan Perang, Kastaf Angkatan; Darat, Laut, Udara, Panglima Tentara Teritorium Sumatera, Komandan Teritorium Jawa, Komandan Teritorium Sumtera, Panglima Kesatuan Reserve Umum, Kastaf Pertahanan Jawa Tengah dan Kastaf Pertahanan Jawa Timur.
Dalam PP tersebut juga diatur adanya
3 tingkat kejaksaan tentara, yaitu :
- Kejaksaan Tentara
- Kejaksaan Tentara Tinggi
- Kejaksaan Tentara Agung
Hukum Pidana Materil yang berlaku
pada masa berlakunya undang-undang No. 7 tahun 1946 dan PP No. 37 tahun 1948
adalah sebagai berikut :
- KUHP (UU. No. 1 tahun 1946)
- KUHPT (UU. No. 39 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 167)
- KUHDT (UU. No. 40 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 168)
Pada masa tahun 1946 hingga 1948
diadakan Peradilan Militer Khusus, sebagai akibat dari peperangan yang terus
berlangsunf yang mengakibatkan putusnya hubungan antar daerah. Peradilan
militer khusus ini meliputi:
- Mahkamah Tentara Luar Biasa (PP. No. 5 tahun 1946).
- Mahkamah Tentara Sementara (PP. No. 22 tahun 1947).
- Mahkamah Tentara Daerah Terpencil (PP. No. 23 Tahun 1947).
Pada tanggal 19 Desember 1948
tentara Belanda Melakukan Agresinya yang kedua terhadap negara RI. Agresi
tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan tentara nasional Indonesia dan
selanjutnya pemerintah RI. Aksi tersebut mengakibatkan jatuhnya kota tempat
kedudukan badan-badan peradilan ke tangan Belanda. Mengingat kondisi ini, maka
dikeluarkanlah peraturan darurat tahun 1949 No. 46/MBKD/49 yang mengatur
Peradilan Pemerintahan Militer untuk seluruh pulau Jawa -Madura. Peraturan
tersebut memuat tentang:
- Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer
- Pengadilan Sipil Pemerintah Militer
- Mahkamah Luar Biasa
- Cara menjalankan Hukuman Penjara.
Selanjutnya dalam makalah ini
penulis akan membatasi dengan hanya membahas pengadilan tentara pemerintahan
militer. Pada masa ini Pengadilan Militer terdiri atas tiga badan yaitu:
- Mahkamah Tentara Onder Distrik Militer (MTODM), berkedudukan sama dengan komandan ODM yang berwenang mengadili prajurit tingkat Bintara.
- Mahkamah Tentara Distrik Militer (MTDM), berkedudukan sama dengan komandan DM yang berwenang mengadili perwira pertama hingga Kapten
- Mahkamah Tentara Daerah Gubernur Militer, (MTGM), berkedudukan sama dengan Gubernur militer yang berwenang mengadili kapten sampai Letnan Kolonel.
Peraturan darurat tersebut hanya
berjalan selama kurang lebih 6 bulan, kemudian pada tanggal 12 juli 1949
menteri kehakiman RI mencabut Bab II peraturan tersebut. Kemudian pada tanggal
25 Desember 1949 dengan PERPU No. 36 tahun 1949 mencabut seluruhnya materi
Peraturan darurat No. 46/MBKD/49, dan aturan yang berlaku sebelumnya dinyatakan
berlaku lagi. Berdasarkan Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950, mengatur
peradilan tentara kedalam tiga tingkatan yaitu:
- Mahkamah Tentara
- Mahkamah Tentara Tinggi
- Mahkamah Tentara Agung
Sementara untuk Kejaksaan dibagi
atas:
- Kejaksaan Tentara
- Kejaksaan Tentara Tinggi
- Kejaksaan Tentara Agung
Undang-undang darurat No. 16 tahun
1950 kemudian dicabut dengan lahirnya UU No. 5 tahun 1950, yang sebenarnya
hanya merupakan penggantian formal saja, sedangkan mengenai materinya tetap
tidak mengalami perobahan. Pada masa ini masa RIS lahir Mahkamah Tentara di
banyak tempat, seperti di Jawa-Madura pada kota-kota:
- Jakarta; dengan daerah hukumya: Keresidenan Jakarta, Banten dan Bogor
- Bandung; meliputi: Keresidenan Priangan dan Cirebon
- Pekalongan; meliputi: Keresidenan Pekalongan dan Banyumas
- Semarang; meliputi: Keresidenan Semarang dan Pati
- Yogyakarta; meliputi: Keresidenan Yogyakarta dan Kedu
- Surakarta; meliputi: Keresidenan Surakarta dan Madiun
- Surabaya; meliputi: Keresidenan Surabaya, Bojonegoro dan Madura
- Malang; meliputi: Keresidenan Malang dan Besuki.
Dengan Yogyakarta sebagai tempat
kedudukan Mahkamah Tentara Tinggi, untuk daerah Jawa-Madura. Sumatera, Mahkamah
Tentara berkedudukan dikota:
- Medan: Bekas Keresidenan Aceh, Riau dan Sumatera Timur
- Padang: Bekas Keresidenan Sumatera Barat dan Tapanuli
- Palembang:Bekas Keresidenan Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung dan Bangka-Belitung.
Bukit Tinggi merupakan tempat
kedudukan Mahkamah Tentara Tinggi untuk seluruh Sumatera. Kalimantan, Mahkamah
Tentara berkedudukan dikota:
- Pontianak: Bekas Keresidenan KALBAR dengan pulau-pulaunya
- Banjarmasin: Bekas Keresidenan KALSEL dan KALTIM
Mahkamah Tentara Tinggi untuk
seluruh Kalimantan berkedudukan di Jakarta. Mahkamah Tentara di Indonesia Timur
berada di kota:
- Makassar: Propinsi Sulawesi dan bekas Afdeling Ternate
- Ambon: seluruh wilayah Maluku di kurangi Ternate
- Denpasar: seluruh wilayah Propinsi Sunda Kecil (NTT-B).
Mahkamah Tentara Tinggi berkeduduan
di Makassar dan Mahkamah Tentara Agung berkedudukan di Mahkamah Agung
Indonesia.
c. Masa berlakunya UUDS 1950
(1950-1959)
Ketentuan yang telah ada pada masa
RIS tetap berlaku kecuali yang tidak sesuai dengan tujuan negara kesatuan.
Daerah hukum Mahkamah Tentara mengalami perubahan (penambahan dan pengurangan)
seperti di :
Jawa-Madura :
- Jakarta, tambah Kab. Kep. Riau (Tanjung Pinang)
- Surabaya, tambah Kediri
Sumatera :
- Medan, dikurangi Kab. Kep. Riau tapi ditambah dengan Tapanuli
- Padang, dikurangi Tapanuli dan ditambah Kampar (Pekanbaru)
Kedudukan Pengadilan Tinggi Tentara
yang sebelumnya di Bukit Tinggi dipindah ke Medan dengan wilayah hukum seluruh
Sumatera.
Kalimantan :
Pengadilan Tinggi Tentara dipindah
dari Jakarta ke Surabaya. Pada periode 1950-1959 di negar kita terjadi keadaan
darurat, sebagai dampak dari politik federalisme kontra unitarisme. Seperti pemberontakan
Andi azis di Makassar, Peristiwa APPRA di Bandung, RMS di Maluku, peristiwa
DI/TII di Jabar, Jateng, Aceh dan Sulawesi Selatan serta peristiwa yang tidak
kalah besar ialah peristiwa PRRI/Permesta di Sumtera dan Sulawesi. Berangkat
dari kondisi diatas, dan demi untuk tetap menegakkan hukum di lingkungan
militer, maka di bentuklah Peradilan Militer Khusus seperti;
- Mahkamah Tentara Luar Biasa; Putusan mahkamah ini tidak dapat di mintakan banding
- Mahkamah Angkatan Darat/Udara pertempuran Putusan mahkamah ini merupakan tingkat pertama dan terakhir.
d. Masa Juli 1959-11 Maret 1966
Pada Tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI
mengeluarkan dekrit yang menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya
kembali UUD 1945. UU No. 5 tahun 1950 sejak dikeluarkannya dekrit tetap
berlaku, tetapi perkembangan selanjutnya menyebabkan penerapannya berbeda
dengan periode sebelum dekrit 5 Juli 1959. Hal ini karena makin disadari bahwa
kehidupan militer memiliki corak kehidupan khusus, disiplin tentara yang hanya
dapat dimengerti oleh anggota tentara itu sendiri. Karena itu dirasakan
perlunya fungsi peradilan diselenggarakan oleh anggota militer.
Pada tanggal 30 Oktober 1965 di
undangkan Penetapan Presiden No.22 tahun 1965, tentang perobahan dan tambahan
beberapa pasal dalam UU. No. 5 tahun 1950. Perobahan-perobahan tersebut adalah
mengenai pengangkatan pejabat-pejabat utama pada badan-badan peradilan militer.
Dengan adanya ketentuan tentang pengangkatan tersebut, maka ketua pengadilan
tentara dan pengadilan tentara tinggi, yang menurut ketentuan lama, karena
jabatannya dijabat oleh oleh ketua pengadilan Negeri/ketua pengadilan tinggi,
sekarang di jabat oleh pejabat dari kalangan Militer sendiri. Perubahan sama
berlaku pula pada panitera.
Penyiapan tenaga ini telah dilakukan
sejak tajun 1952 dengan mendirikan dan mendidik para perwira pada akademi hukum
militer. Tahun 1957 angkatan I telah lulus kemudian melanjutkan ke ke Fakultas
Hukum dan pengetahuan masyarakat, Universitas Indonesia. Tahun 1961 merupakan
awal pelaksanaan peradilan militer diselenggarakan oleh para perwira
ahli/sarjana hukum, sesuai dengan instruksi Mahkamah agung No. 229/2A/1961
bahwa mulai september 1961 hakim militer sudah harus mulai memimpin sidang
pengadilan tentara. Demkian halnya dengan kejaksaan.
Dengan perkembangan tersebut diatas,
dimulailah babak baru dalam penyelenggaraan Peradilan Militer. Perkembangan
selanjutnya ialah anggota dari suatu angkatan diperiksa dan diadili oleh hakim
jaksa dari angktan bersangkutan. Perkembangan selanjutnya yang perlu mendapat
perhatian adalah di undangkannya undang-undang No. 3 PNPS tahun 1965 tentang
memberlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum
disiplin tentara bagi angkatan Kepolisian pada tanggal 15 maret 1965.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya UU. No. 23 PNPS 1965 pada tanggal 30
Oktober 1965 yang menetapkan bahwa dalam tingkat pertama, tantama, bintara dan
perwira polisi yang melakukan tindak pidana di adili oleh badan peradilan dalam
lingkungan angkatan kepolisian. Sebelumnya diadili di badan peradilan angkatan
darat dan angkatan laut untuk yang kepulauan Riau.
Dengan demikian peradilan dalam
lingkungan Peradilan Militer dalam pelaksanaannya terdiri dari:
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian.
Peradilan ini terus berlangsung
hingga setelah 11 maret 1966, bahkan peradilan di lingkungan angkatan
kepolisian baru di mulai pada tahun 1966.
e. Masa 11 Maret 1966-1997
Pelaksanaan peradilan militer
didalam lingkungan masing-masing angkatan seperti yang ada sebelumnya tetap
berlaku hingga pada awal 1973. Tahun 1970 lahirlah UU No. 14 tahun 1970
menggantikan UU No. 19 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Undang-undang ini mendorong proses integrasi peradilan di lingkungan
militer. Baru kemudian berubah ketika dikeluarkan berturut-turut :
- Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan/Pangab pada tanggal 10 Juli 1972 No. J.S.4/10/14 – SKEB/B/498/VII/72
- Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan keamanan pada tanggal 19 maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973 – J.S.8/18/19. Tentang perobahan nama, tempat kedudukan, daerah hukum, jurisdiksi serta kedudukan organisatoris pengadilan tentara dan kejaksaan tentara.
Barulah kemudian peradilan militer
dilaksanakan secara terintegrasi. Pengadilan militer tidak lagi berada di
masing-masing angkatan tetapi peradilan dilakukan oleh badan peradilan militer
yang berada di bawah departemen pertahanan dan keamanan. Kemudian berdasar dari
SK bersama tersebut, maka nama peradilan ketentaraan di adakan perubahan.
Dengan demikian, maka kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer dilakukan
oleh:
- Mahkamah Militer (MAHMIL)
- Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI)
- Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG).
Pada tahun 1982 dikeluarkan
Undang-undang No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pertahanan keamanan
negara RI yang kemudian diubah dengan undang-undang No 1 tahun 1988. Undang
-undang ini makin memperkuat dasar hukum keberadaan peradilan militer. Pada
salah satu point pasalnya dikatakan bahwa angkatan bersenjata mempunyai
peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan
perkara.
Hingga tahun 1997 hampir tidak ada
perubahan yang signifikan dalam pelaksaanan peradilan militer di Indonesia.
f. Peradilan Militer 1997-Sekarang
Pada tahun 1997 diundangkan UU No.
31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undang-undang ini lahir sebagai
jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer, mengingat aturan
sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat undang-undang
No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Undang-undang
ini kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari :
- Pengadilan Militer (Dilmil)
- Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti)
- Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama)
- Pengadilan Militer Pertempuran. (Dilmilpur)
Dengan diundangkannya ketentuan ini,
maka Undang-undang Nomor 5 tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan
pengadilan/kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan, sebagaimana telah
diubah dengan UU. No. 22 PNPS tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Demikian halnya dengan UU No. 6 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada
pengadilan tentara, sebagaimana telah di ubah dengan UU No 1 Drt tahun 1958
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar